Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah, Promosi Wisata Aset Budaya Bangsa

Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah, Promosi Wisata Aset Budaya Bangsa

Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah, Promosi Wisata Aset Budaya Bangsa.Blitar – Siraman Gong Kyai Pradah di Lodoyo Kecamatan Sutojayan merupakan satu diantara aset budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Blitar. Budaya ini telah dilaksanakan turun temurun. Bukan saja diksakiskan warga lokal Blitar namun juga warga dari luar Blitar. Harapannya, budaya ini terus dilestarikan. Hal ini disampaikan oleh Bupati Blitar, Drs. H.Rijanto, MM sebelum prosesi upacara adat siraman Gong Kyai Pradah di Pendopo Kecamatan Sutojayan, Kamis (22 September 2018).

Bupati Blitar, H.Rijanto yang didampingi Wakil Bupati Blitar, Marhaenis yang  memimpin langsung acara adat tersebut juga menyampaikan,  tujuan dari kegiatan ini diantaranya; melestarikan budaya bangsa sebagai warisan leluhur supaya generasi penerus negeri ini mengetahui aset budayanya. Atau dengan kata lain, sebagai wujud nguri-nguri budaya bangsa. Serta menyejahterakan masyarakat. Mengingat masyarakat dari berbagai daerah ngalap berkah, mencari rejeki dengan berjualan di lokasi Siraman Gong Kyai Pradah tersebut. Selain itu, Siraman Gong Kyai Pradah sebagai aset wisata yang dimiliki oleh Kabupaten Blitar, patut dipromosikan, sehingga menarik kunjungan wisatawan khususnya wisatawan dari mancanegara.

Dalam kesempatan tersebut, orang nomor satu di Kabupaten Blitar ini juga menyampaikan, bahwa normalisasi kali Bogel telah dimulai. Diharapkan dengan upaya yangh dilakukan oleh Pemerintah Kabuapten Blitar dan BBWS Jawa Timur ini bisa mengurangi banjir yang sering melanda daerah ini.

Untuk diketahui, acara adat  dihadiri anggota Forkopimda Blitar, Anggota Komisi III, Arteria Dahlan serta perwakilan tamu undangan dari kabupaten/kota tetangga. Juga dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.

Acara Adat Siraman Gong Kyai Pradah merupakan agenda rutin tahunan yang dilaksanakan di Kecamatan Sutojayan setiap penanggalan Maulud yang notabene bertepatan dengan Peringatan  Hari Keagamaan Maulud Nabi Muhammad SAW atau tanggal 12 Rabiul Awal. Sejarah singkat Siraman Gong Kyai Pradah,  ini bahwa ada yang mengatakan bahwa Kyai Pradah dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai Becak, pusaka R.M. Said atau Pangeran Mangkunegoro I.Ada pula yang mengatakan bahwa Kyai Pradah berasal dari Adipati Terung, kembaran dari tongkat sakti Tikus Jinodo yang diberi nama Kyai Macan, yang diturunkan kepada Kyai Pengging sebagai kembaran Bende Udan Arum. Kyai Macan tersebut kemudian dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi lasykar Demak sewaktu menyerang kerajaan Majapahit. Mengenai riwayat gong tersebut sampai sekarang belum diperoleh sumber data yang pasti, hanya dari cikal bakal daerah Lodoyo dan tutur kelantur di masyarakat diperoleh gambaran sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa Kyai Pradah dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai Becak, pusaka R.M. Said atau Pangeran Mangkunegoro I. Kyai Macan tersebut kemudian dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi lasykar Demak sewaktu menyerang kerajaan Majapahit.

Pelacakan oleh Bupati Blitar dan Asisten Kediri pada tahun 1927, mengenai riwayat Kyai Pradah, diperoleh informasi sebagai berikut: Sewaktu tentara Demak akan menggempur kerajaan Majapahit, Sunan Kudus mengikuti dari belakang sambil membawa bende Kyai Macan. Berhubung pasukan tentara Demak lebih kecil bila dibandingkan dengan pasukan tentara Majapahit, maka pasukan tentara Demak kemudian berpencar. Pada saat itu, wilayah sekitar Majapahit masih berupa hutan, sehingga ketika Kyai Macan dipukul, suaranya yang menyerupai harimau menggaum memantul ke segala penjuru. Mendengar suara itu, tentara Majapahit mengira tentara Demak mengerahkan harimau siluman. Banyak di antara mereka ketakutan dan meninggalkan pos penjagaan.

Hal itu justru memudahkan tentara Demak masuk ke dalam kota Majapahit dan mendudukinya. Sesudah kerajaan Majapahit roboh, berdirilah kerajaan Demak. Kyai Macan kemudian dijadikan pusaka Demak disatukan dengan gamelan Sahadatin. Sejak itu, Kyai Macan berpindah-pindah menjadi pusaka Pajang dan Kartosuro. Menurut cerita, Sunan Paku Buwono I mempunyai seorang putra dari garwo ampeyan bernama Pangeran Prabu. Sewaktu garwo padmi belum berputra, Pangeran Prabu dijanjikan akan diangkat menjadi raja sebagai pengganti dirinya. Namun, ternyata garwo padmi melahirkan seorang putra laki-laki.

Agar tidak menimbulkan perang saudara, Pangeran Prabu disuruh pergi ke hutan Lodoyo untuk babad mendirikan kerajaan. Saat itu, hutan Lodoyo terkenal wingit, maka Pangeran Prabu diberi gong Kyai Macan sebagai tumbal. Pangeran Prabu bersama-sarna isterinya, Putri Wandansari, kemudian berangkat babad disertai beberapa abdi. Sebenarnya Sunan Paku Buwono I berbuat demikian itu bukan bermaksud agar Pangeran Prabu berhasil mendirikan kerajaan, melainkan agar Pageran Prabu mengalami kehancuran dari godaan jin. Dilain pihak, Pangeran Prabu sendiri sebenarnya juga tidak ingin mendirikan kerajaan karena beliau sesungguhnya seorang ulama besar. Pangeran Prabu dapat menangkap maksud Sunan Paku Buwono I terhadap dirinya. Sehingga untuk menghilangkan jejaknya, beliau berpindah-pindah tempat tinggalnya. Setiap menempati lokasi baru, beliau mengadakan pengajian. Pangeran Prabu kemudian mendirikan pondok. Pondok Pangeran Prabu atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Panembahan Imam Sampurna, semakin lama bertambah banyak muridnya. Keberhasilan itu akhirnya terdengar oleh Adipati Srengat yang bernama Pangeran Martodiningrat, maka segera dilaporkan ke Kartosuro karena dikhawatirkan Pangeran Prabu akan mendirikan kerajaan. Kartosuro pun kemudian mengirim tentaranya dibantu oleh kompeni Belanda. Pangeran Prabu atau Panembahan Imam Sampurno mengetahui hal itu lalu bersembunyi di hutan Kedung Bunder dan berganti nama menjadi Mbah Tjingkrang. Kata Tjingkrang mengandung arti ’maksud beliau belum tercapai’. Mbah Tjingrang akhirnya menetap di Kedung Bunder sampai akhir hayatnya. Makam Mbah Tjingkrang pun akhirnya menjadi punden keramat.

Kyai Macan yang disertakan Pangeran Prabu pada waktu hendak babad, karena tempat tinggalnya berpindah-pindah, Kyai Macan kemudian dititipkan pada Nyi Partosoeto dengan pesan agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal disiram dengan air kembang setaman dan diborehi. Dikatakan pula bahwa air bekas siraman Kyai Macan dapat dipakai untuk menyembuhkan orang sakit. Setelah Nyi Partosoeto meninggal dunia, Kyai Macan disimpan oleh Ki Rediboyo, lalu tumurun ke Kyai Rediguno, dan tumurun lagi ke Ki Imam Setjo, yang bertempat tinggal di Dukuh Kepek, Ngeni. Ketika disimpan Ki Imam Setjo, terjadi kejadian yang agak ganjil mengenai jiwa penduduk. Setiap ada anak lahir pasti ada orang yang meninggal dunia. Di tengah suasana. yang demikian itu, ada seseorang bermimpi agar anaknya terhindar dari serangan penyakit, maka ia harus nyekar ke Kyai Macan. Saran dalam impian itupun dilaksanakan dan ternyata berhasil. Tindakan itu kemudian banyak diikuti hingga tersiar sampai ke tempat yang jauh. Semakin lama semakin banyak orang meminta berkah kepada Kyai Macan. Karena kebaikannya itu, Kyai Macan kemudian diberi nama Kyai Pradah. (Humas).

Check Also

Pelajar Selalu Antusias Sambut Mobil MBG, Personel Dapur Ikut Bangga

Bogor — Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Babakan Madang, Sentul, Savira Hazra mengaku bangga …